Kamis, 08 November 2012

Obral Besar TKI


Akhir Oktober yang lalu masyarakat Indonesia dikejutkan dengan iklan ¨TKI on Sale¨ di Malaysia. Iklan tersebut bernada provokatif karena mengandung arti sedang ada obral besar pembantu rumah tangga yang berasal dari Indonesia. Pesan dalam selebaran itu dinilai amat merendahkan martabat bangsa.
Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), Jumhur Hidayat, mengecam keras penyebarluasan promosi atau iklan penawaran itu. Jumhur meminta pemerintah Malaysia melarang pemasangan iklan “TKI On Sale” tersebut karena memperdagangkan manusia tidak selayaknya terjadi dan tidak beradab. Menurut Jumhur, iklan yang menawarkan TKI PLRT (Tenaga Kerja Indonesia Penata Laksana Rumah Tangga) merupakan tindakan tidak terpuji. “TKI bukan barang yang sekadar mendahulukan kebutuhan pasar. Ada aspek lain yang sangat penting diwujudkan, yaitu pelayanan perlindungan oleh pengguna maupun pemerintah di negara tujuan,” kata dia
Menurutnya, Indonesia secara teknis masih memberlakukan kebijakan penghentian sementara (moratorium) pengiriman Tenaga Kerja Indonesia Penata Laksana Rumah Tangga (TKI PLRT) ke Malaysia. Bila Malaysia tidak bertindak tegas maka Indonesia bisa mengambil kebijakan penghentian TKI PLRT permanen ke Malaysia. Jumhur pun mengatakan akan mengirim surat resmi secepatnya ke Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kuala Lumpur, Malaysia, agar mengajukan protes dan keberatan diplomatik kepada pemerintah negeri jiran itu.
            Pemerintah Indonesia pun telah mengecam isi yang terkandung dalam iklan obral dan memanggil Duta Besar Malaysia lewat Menteri Luar Negeri, Marty Natalegawa. Pemerintah Malaysia mengaku menyesalkan adanya iklan “TKI on Sale” di Kuala Lumpur, Malaysia. Menurutnya iklan tersebut disebarkan oleh agen nakal bukan iklan resmi dari pemerintah. Pemerintah Malaysia  berjanji akan menindaklanjuti adanya iklan yang kontroversial tersebut.
Penggunaan istilah “sale” atau berarti obral merupakan sebuah kata yang keterlaluan. Tidak menghargai manusia. Wajar jika bangsa ini marah. Kemarahan itu pun harus ditelusuri. Apakah murni kesalahan dari pihak eksternal saja. Realitas di lapangan ternyata memang terjadi obral besar-besaran. Iklan penawaran tenaga kerja kasar juga marak di dalam negeri. Memang terkesan beradab karena tidak menggunakan bahasa kasar. Terlepas dari persoalan bahasa iklan, Pemerintah harus introspeksi apakah telah benar-benar memperlakukan TKI secara manusiawi. Perlakuan hina terhadap TKI jika diamati justru diawali dari dalam negeri sendiri.   
Kenyataan di dalam negeri sendiri TKI tidak lebih dari sekedar sapi perah penghasil devisa. Banyak pengusaha pengerah TKI memperlakukan mereka justru seperti budak. Laiknya ikan sarden, dijejali di tempat-tempat penampungan yang sempit. Para TKI dilarang melakukan kontak dengan dunia luar. Tidak heran bila kemudian muncul kasus TKI yang melarikan diri dari tempat penampungan atau bahkan bunuh diri.  Perbudakan TKI tak hanya terjadi saat mereka akan diberangkatkan ke negeri jiran. Dilepas bekerja di negeri orang pun tanpa perlindungan hukum yang kuat. Ketika kembali pun mereka menjumpai perlakuan yang hampir sama. Diperas, ditipu, atau dirampok di Tanah Air sendiri sepertinya telah menjadi kisah tragis para TKI.
Klaim pemerintah yang telah berbuat banyak mengurus dan melindungi berbeda dengan realitasnya. Kecaman yang diserukan pemerintah hanya sekedar obat penenang sementara. Langkah pembatasan terhadap pengiriman TKI juga belum berpengaruh apa-apa. Faktanya pemerintah belum mampu menyediakan lapangan pekerjaan. Ini membuat banyak pekerja dengan keterampilan minim harus mengadu nasib di negeri orang.
Masalah TKI sangat rumit. Jika melihat akar permasalahannya, dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak terpenuhinya kesejahteraan di dalam negeri. Rakyat dibelenggu kemiskinan karena gagalnya kebijakan ekonomi Indonesia.  Itulah yang menjadi tugas utama pemerintah: bagaimana menghentikan pengiriman TKI selamanya. Tidak lain yaitu dengan menyejahterakan mereka. Problemnya, jika sistem yang diterapkan saat ini masih sistem sekuler-kapitalis yang tidak menyejahterakan rakyat, selama itu pula TKI akan terus menjadi bahan hinaan.
Lebih lanjut, pertumbuhan ekonomi Indonesia telah gagal mengatasi persoalan kemiskinan ekstrim dalam masyarakatnya. Bukti tak terbantahkan bahwa klaim Kapitalisme  sesat adalah “pertumbuhan ekonomi adalah sarana utama meningkatkan kesejahteraan masyarakat”. Bukannya  membuahkan kesejahteraan bagi masyarakat dan meninggikan standar hidup mereka, malah sebaliknya. Sistem ekonomi Kapitalis yang diadopsi Indonesia dalam realitanya justru memperparah tingkata kemiskinan dan memperbesar kesenjangan sosial. Sistem kapitalis telah acapkali terbukti hanya menempatkan kekayaan pada segentir orang dan memiskinankan rakyat secara luas.
Sistem Kapitalis yang diterapkan di Barat, khususnya di Indonesia memandang segala sesuatu hanya sebagai masalah permintaan dan penawaran. Yang tujuan akhirnya adalah mendapatkan keuntungan. Pandangan ini telah menghinakan harkat manusia baik perempuan maupun laki-laki menjadi tidak lebih dari sekedar komoditas ekonomi yang membawa keuntungan finansial untuk negara mereka. Bisa digunakan dan dilecehkan tanpak peduli efeknya terhadap fisik dan mental individu dan keluarga serta masyarakat.
Sangat kontras dengan Kapitalisme, Islam tidak memandang manusia sebagai komoditi ekonomi, melainkan sebagai manusia yang harus dilindungi. Jutaan buruh migran Indonesia akan memiliki cerita yang lain jika berada di bawah naungan sistem Khilafah. Lebih dari empat belas abad Khilafah telah teruji menangani kemiskinan. Khilafah adalah model terbaik sebuah negara yang menerapkan sistem ekonomi yang sehat.
Khalifah mampu melarang penimbunan kekayaan atau privatisasi sumberdaya alam. Melarang pihak asing berinvestasi besar dalam pembangunan infrastruktur, pertanian, teknologi dan industri. Arah kebijakannya adalah untuk mengusahakan distribusi kekayaan yang efektif dalam menjamin kebutuhan pokok semua warga negaranya. Pada saat yang sama meletakkan kegiatan ekonomi yang sehat untuk mengatasi pengangguran massal dan memungkinkan individu untuk mendapat kemewahan. Itulah mengapa sistem sekuler harus diganti dengan sistem Islam yang lebih memuliakan manusia. 

Tidak ada komentar: