Kamis, 31 Mei 2012

Haruskan ada Hari Tanpa Tembakau




Dalam film dokumenter berjudul Sex, Lies and Ciggarette, Christof Putzel menyentak Indonesia. Dia begitu heran dengan kios rokok yang jaraknya berdekatan dengan sekolah. Masyarakat dunia pun begitu heboh dengan berita tentang bayi berumur dua tahun yang gemar merokok. Banyak talkshow yang memperbincangkan bayi tersebut. Pemerintah pun malu dan mengirim bayi beserta ibunya ke pusat rehabilitasi perokok. Saat ini ada sekitar 89 juta keluarga perokok di Indonesia. Bisa dibayangkan berapa jumlah perokok pasif anak di Indonesia.
Tanggal 31 Mei merupakan hari tanpa tembakau. Hari di mana seharusnya dunia bebas tanpa asap tembakau. Benarkah kita mesti menyalahkan tembakau? Tembakau hanyalah sejenis tanaman yang bisa hidup di mana saja di muka bumi. Manfaat tembakau pun ada mulai dari penghasil protein anti kanker, obat diabetes, dan sebagai anti radang. Jika dipergunakan dengan benar tembakau memiliki manfaat selain bahan utama rokok. Allah, Sang Pencipta membuat tembakau bukan untuk dieskploitasi tanpa aturan sesuai kehendak manusia. Aturan manusia inilah yang menyebabkan tembakau menjadi disalahkan. Akibat kapitalisasi industri rokok, tembakau menjadi polemik. Di satu sisi dibutuhkan sebagai mata pencaharian petani tembakau, di sisi lain menjadi pengancam kesehatan nasional. Dengan jeli, Christof Putzel menyadarkan sebagian orang yang tak tau bahaya sebenarnya adalah dari para kapitalis perusahaan rokok. Iklan-iklan rokok dikemas dengan bungkusan yang kreatif. “Gue aja adem, kenapa loe yang panas?”. Slogan-slogan seperti inilah yang hendak dijadikan trend oleh perusahaan rokok. Indonesia sekarang adalah gambaran Amerika tahun 60an . Di mana asap rokok bebas dinyalakan. Di mana para artis idola dengan bangga memamerkan budaya gaul dan bebas merokok. Di mana sampai bayi menjadi ikon baru dunia rokok. Bukan lagi koboi petualang.
                Banyak yang tak tau, manajer-manajer perusahan rokok tersebut malah sudah berhenti merokok. Pemerintah Amerika sendiri dituntut oleh masyarakatnya untuk membuat aturan yang ketat untuk peredaran rokok. Kemudian para kapitalis perusahaan rokok tersebut berganti wilayah sasaran pasar. Ini karena bahaya rokok yang begitu mengkhawatirkan. Amerika membuang kebiasaan buruk merokok dan Indonesia lah sebagai tempat sampahnya. Sekarang generasi muda mulai dari balita pun merokok. Apa jadinya jika generasi penerus bangsa sudah dicekoki kebiasaan buruk? Dengan dalih untuk menyejahterakan petani tembakau, pemerintah seolah lupa mengapa menteri kesehatan bisa terkena kanker paru-paru. Menghilangkan kebiasaan merokok bisa dilakukan dengan pondasi aqidah individu. Seorang muslim tidak akan menyia-nyiakan harta untuk mengkonsumsi sesuatu yang membawa mudharat. Namun negara pun perlu ambil bagian dalam membuat regulasi tegas tentang penjualan rokok. Bukan tembakau. Jadi bukan hari tanpa tembakau. Yang seharusnya adalah hari tanpa rokok.

link di bawah adalah film dokumenter sex, lies and ciggarette 

Sabtu, 19 Mei 2012

Efektifkah Pendidikan Karakter Kebangsaan?

-HTI Press- Pendidikan karakter kebangsaan dipandang sebagai solusi penting mengatasi potret buram pendidikan nasional. Seks pra nikah, aborsi, pornografi, HIV/AIDS, narkoba, tawuran, kenakalan, kekerasan, minuman keras, cuci otak hingga radikalisme.

Gagasan pendidikan karakter kebangsaan muncul setelah pendidikan agama dan kewarganegaraan dianggap belum cukup membentuk karakter generasi. Radikalisme, sikap memaksakan pendapat orang lain maupun semangat mengubah negara Indonesia kian menguat. Seperti keberadaan Negara Islam Indonesia (NII).
Pembahasan pendidikan karakter kebangsaan itulah yang disampaikan Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia (MHTI) kepada 500-an pendidik, guru, kepala sekolah dan wakil kepala sekolah SMP-SMA se-Surabaya dalam Seminar Pendidikan “Mengukur Efektifitas Pendidikan Karakter Kebangsaan dalam Menghasilkan Generasi Berkualitas” di Aula SMKN 6 Surabaya, Minggu (13/5/2012).

Sebagai pembicara Asyfiyah SPd Aktivis MHTI yang juga guru SMKN 9 Surabaya memaparkan Potret Buram Generasi vs Pendidikan Karakter Kebangsaan. Pentingnya pendidikan karakter kebangsaan diperkuat dengan pernyataan Menteri Pendidikan Nasional. Menurutnya, pendidikan karakter kebangsaan bisa mewujudkan keunggulan sumber daya manusia. Ini didasarkan pada penelitian menyebutkan 80 persen kesuksesan ditentukan dari karakter atau kepribadian seseorang.
 Faktanya, banyak yang menyangsikan pendidikan karakter. Alasannya, kata Asfiyah, pendidikan di Indonesia adalah pendidikan sekuler dengan budaya masyarakat yang materialistik. Terlebih dengan materi ajar yang tidak menghantar terbentuknya output pendidikan berkepribadian seimbang.
“Pelajaran agama yang diajarkan hanya tentang ibadah mahdoh saja. Sholat sampai memandikan jenazah. Itu sebenarnya tidak penting. Padahal yang terpenting adalah membentuk kepribadian Islam,” kata Asfiyah.
Pengajaran yang ada sekarang cenderung hanya sekedar transfer of knowledge dan bukan transfer of personality. Guru pun belum bisa memberikan teladan bagi siswa untuk mengembangkan karakter positif. Ditambah dengan belum serasinya pendidikan sekolah, keluarga dan masyarakat.

Pendidikan karakter sudah ada sejak era Soekarno hingga masa reformasi. Namun, tidak juga mengubah kondisi generasi muda. Konflik horizontal maupun vertikal muncul dima-mana. Primordialisme, praktek korupsi, kolusi dan nepotisme nyatanya masih merajalela. Pendidikan karakter kebangsaan hanya menghasilkan robot-robot pembela bangsa yang tidak mampu membedakan mana benar, salah, halal, haram, baik atau buruk. Hal ini tak lain adalah buah sistem kapitalisme. Pendidikan sekuler hanya memberikan pelajaran agama berdurasi 2 jam seminggu, sehingga dengan mudah mengikis ketaqwaan.

Bagaimana dengan pendidikan Islam? Aktivis MHTI yang juga Pengamat Pendidikan Rezkiana Rahmayanti menjelaskannya. Pendidikan dalam Islam sangat berbeda. Pendidikan adalah kebutuhan pokok dan asazi bagi setiap individu. “Pendidikan adaah pelayanan umum dan kemaslahatan hidup yang harus dipenuhi oleh negara,” ujarnya. Sistem pendidikan dalam Khilafah bertujuan untuk membangun kepribadian Islam, aqliyah dan nafsiyah serta mempersiapkan generasi muslim menjadi ulama yang ahli di setiap aspek kehidupan, baik ilmu Islam maupun terapan. Karena itu kurikulum dan kualifikasi guru tidak boleh bertentangan dengan aqidah Islam. Misalkan dalam pelajaran biologi, tidak akan mengajarkan bahwa manusia berasal dari kera, karena ini bertentangan dengan Islam.

Meski berasaskan Islam, namun sistem pendidikan dalam Khilafah tidak hanya akan dirasakan oleh umat muslim, tapi juga non muslim. Sistem pendidikan Islam akan menghasilkan generasi yang bisa mengambil keputusan dan bersikap atas masalah yang terkait dengan dirinya, mampu menjadi pemimpin sekaligus siap menjadi rakyat, zuhud tapi juga menikmati hidup, mampu menguasai dunia tapi juga sukses di akhirat, tidak rakus dunia karena berlandaskan ketaqwaan. Hasil pendidikan Islam pun bisa dilihat dari generasi-generasi pendahulu seperti Mu’adz bin Jabal, Salim Maula Abu Hudzaifah, Abu Ubaidah dan Aisyah ra.
Khilafah sebagai penyelenggara pendidikan juga mampu menjamin tersedianya sarana prasarana yang lengkap seperti perpusataakn, laboratorium dan sarana ilmu pengetahuan lain. Khilafah juga menyediakan guru yang berkualitas dengan profil berkepribadian Islam, bertaqwa, bertanggung jawab dan tidak mengabaikan ilmu. Kesejahteraan guru pun terjamin. Terbukti, pada masa Khalifah Umar bin Khattab misalnya, gaji guru sebesar 15 dinar atau setara dengan 63,75 gram emas. Jika saat ini harga 1 gram emas Rp 300 ribu, maka gaji guru saat itu Rp 19 juta lebih per bulan. Guru yang berprestasi menulis buku diberi penghargaan dengan menimbang buku tersebut dan disepadankan dengan berat emas.

Pembahasan sistem pendidikan ini ternyata disambut positif kalangan pendidik di Surabaya. Para peserta seminar berbondong-bondong memberikan pertanyaan maupun tanggapan betapa pendidikan Islam tidak diragukan lagi kehebatannya. Seminar pun ditutup dengan komitmen adanya sebuah perubahan agar syariah Islam dalam naungan Khilafah bisa segera diterapkan.