Rabu, 22 Juli 2015

Mengingat Kebaikan Suami



Setiap pasangan tentu mendambakan keluarga yang harmonis dan sejahtera. Namun yang namanya berumah tangga masalah terkadang menghampiri. Itulah ujian kehidupan. Hampir enam tahun berumah tangga membuat saya banyak belajar. Ada saja ribut-ribut kecil yang terjadi antara suami. Baju kerja belum disetrikalah, anak pada rewel, suami terlalu cueklah dsb. Hal-hal sepele kadang bisa membuat keki hati. Padahal masalahnya Cuma sepele. Entah kenapa sering bikin heboh rumah. 

Setiap hari semenjak hari pernikahan, saya belajar bahwa perbedaan membuat kita banyak mengenal dan memahami. Bagaimana karakter suami dan begitu pula karakter saya sendiri. Kadang baru paham kok ternyata begini ya cara saya menghadapi masalah seperti ini. Malah kadang baru paham diri kita sendiri. Mungkin itulah yang disebut belajar menjadi bijak.

Pernah ngga sih terpikir untuk cerai kalau ada masalah? Jawabnya ya pernahlah. Ada satu pasangan yang saya kira shalih banget sempat bercerita kalau pernah terlintas di benaknya untuk cerai. Shalih memang bukan berarti harus serba sempurna. Setiap manusia pasti ada kurangnya. Itu biasanya yang menguatkan hati saya untuk kembali memaafkan suami, kembali memaafkan diri sendiri juga.

Kalau kita memperhatikan berita tentang fenomena perceraian ternyata cukup mengkhawatirkan. Di Indonesia hampir setiap tahun angkanya meningkat. Faktor penyebab utamanya karena ekonomi. Suami tidak memberi nafkah. Faktor kedua perselingkuhan. Di antara angka-angka tersebut sebagian besar trennya adalah istri menggugat cerai suami.

Untuk itulah tulisan ini dibuat. Melihat fenomena yang mengkhawatirkan ini membuat saya ingin merenung lagi tentang pernikahan. Fakta bahwa istri lebih banyak menggugat cerai suami membuat saya sebagai perempuan ingin bertanya kepada kaum saya sendiri. Benarkah ini yang kita inginkan?

Pembahasan tulisan ini hanyalah di seputar sikap seorang istri bagaimana agar tetap waras menjaga rumah tangganya. Bukan untuk membahas berbagai macam faktor penyebabnya. Fokus tulisan ini memang ditujukan untuk membantu perempuan yang sedang dilanda masalah pernikahannya. Dan juga mengingatkan kepada saya setiap kali saya sedang eror.

Setiap kali ada masalah dengan suami apa saja sih kesalahannya? Ada juga kah andil kita di dalamnya? Jangan bisanya hanya menyalahkan orang lain. Tak pernah introspeksi diri. Ingat lagi ini. Sebelum menunjuk kesalahan di muka orang lain, bercerminlah dahulu melihat kesalahan di muka sendiri. Sudahkah semua perbuatan yang kita lakukan sesuai dengan aturan Islam? Bagaimana caranya kita tahu persis perbuatan kita sesuai dengan Islam kalau membaca Alquran saja jarang? Bagaimana kita tahu segala tindakan kita sesuai dengan hukum syara kalau mengkaji Islam saja malas?

Sedih rasanya kalau membaca hadist bagaimana Nabi mengatakan bahwa kaum perempuan lebih banyak di neraka dibanding di surga? Sedih. Seakan-akan kita adalah si terdakwa yang selalu salah. Alihkan  saja perhatian kata “kaum perempuan” kepada bagaimana supaya bukan kita yang masuk neraka? Rasulullah berpesan mengapa banyak perempuan yang akan masuk neraka? Karena mereka kurang bersyukur kepada suaminya. Kurang bisa melihat kebaikan-kebaikan suaminya.

Inilah yang membuat saya tetap waras walaupun saya hanyalah seorang ibu yang tinggal di rumah. Setiap kali sedang emosi saya mencoba berpikir lagi kenapa sih saya harus marah? Ketika marah memori yang terbayang adalah perbuatan-perbuatan suami yang kurang pas di hati. Tapi hati bukanlah timbangan yang tepat. Hati manusia mana ada yang tetap. Pasti ia selalu berubah. Kadang ke timur kadang ke barat.

Maka akal sehat dan iman yang kuat yang menenangkan. Akal berkata, masa sih kalah sama emosi? Berpikirlah dengan kepala yang dingin. Iman pun berkata, sudahkah kamu mengikuti perintah Allah dan Rasulullah? Itulah yang berkecamuk dalam benak saya setiap kali hati kesal terhadap sikap suami.

Para istri shalihah, mari kita lihat lagi bagaimana kebaikan-kebaikan suami kita? Setiap hari ia bekerja keras untuk menghidupi keluarga. Pergi pagi pulang malam. Bekerja keras demi anak dan istrinya. Kadang ia capek maka ia berteriak, membantah, atau malah diam saja. Apakah manusia tidak boleh capek? Tapi kita juga sama-sama capek. Kalau begitu lepaskan saja dulu masalahnya. Jangan kau pikul sendirian. Tuliskan saja di diarimu seberapa berat dan banyak bebanmu hari ini? Menulis membuat kita jadi merasa plong. Sembari menulis, sempatkan untuk berdoa supaya Allah menguatkan. Supaya Allah memberikan jalan terbaik. Semoga pernikahan ini selalu harmonis. Sakinah mawaddah warahmah.

Para istri shalihah mudah-mudahan kita bukanlah termasuk golongan penghuni neraka yang tidak bisa melihat kebaikan suami kita. Lihatlah kebaikan suamimu hatta itu hanya secuil saja. Ingatlah memori-memori terbaik, terindah bersama suami. Pertama kali bertemu, pertama kali berdua, pertama kali merasakan kebahagiaan bersama suami. Ingatlah semua kebahagian itu. Ingatlah canda tawa bersama suami dan anak. Ingatlah betapa mereka membutuhkan kita bersama pasangan kita yaitu suami. Bapak anak-anak kita. Ingatlah bahwa bapak terbaik buat mereka adalah bapaknya sendiri. Ingatlah itu saudaraku.



Semoga tulisan ini menjadi perekat keharmonisan rumah tangga bagi kita. Aamiin.

Tidak ada komentar: