Selasa, 13 Oktober 2015

Motivasi up grade diri




Kalau bertemu dengan seorang “guru” maka segala sesuatu yang diucapkannya pasti memiliki pengaruh positif ke dalam diri kita. Beberapa waktu yang lalu saya bertemu dengan “guru” tersebut. Ada beberapa nasihat beliau yang sangat bagus. Nasihat beliau selalu saja membuat saya terkesan. Walaupun penampilannya biasa saja. Namun ketika beliau berbicara maka aura positif akan nampak. Dulu sebelum melihat beliau berbicara di depan forum, kesan pertama saya terhadap “guru” tersebut adalah beliau begitu kerepotan mengurus kelima anaknya. Terakhir kemarin bertemu ternyata anaknya sudah tujuh. Subhanallah! Yah perempuan mana sih yang bisa mengurus anak tujuh tanpa pembantu dan tidak kerepotan? Hari gini.... Masha Allah. Sungguh beliau adalah seorang teladan.

Beberapa dari nasihat beliau yang begitu membekas adalah tentang meng up grade diri. Sebagai pengemban dakwah tentu tugas tersebut sangat mulia. Tapi berapa banyak yang kemudian benar-benar meningkatkan kualitas dirinya? Meningkatkan tsaqofahnya dalam kajian-kajian halqohnya. Benar-benar mutholaah sebelum kajian rutin dilakukan? Kadang malu diri ini karena belum maksimal dalam halaqoh. Berdakwah masih malas-malasan. Masih malas untuk menulis beropini. Asyik dengan kesibukan sendiri yang terkategori mubah. Belum 100 persen mengeluarkan kemampuan terbaik. Belum mastato’tum. Bagaimana mungkin pekerjaan yang mulia namun tidak dikerjakan secara sungguh-sungguh?

Masih terngiang-ngiang kalimat mengup grade diri. Atau kita sebut saja meningkatkan kualitas diri. Sebuah aktivitas di mana kita harus melakukan peningkatan, penambahan kemampuan kerja atau kapasitas dari tingkat yang rendah ke tingkat yang lebih tinggi. Ketika saya gogle frasa “ug grade” pada laptop hitam saya. Sebuah frasa dalam bahasa asing. Ternyata tidaklah asing di laman-laman berbahasa Indonesia. Banyak sekali tulisan tentang mengupgrade diri. Tulisan tersebut bukanlah tulisan tentang pengemban dakwah, tulisan masyarakat biasa. Yah di zaman kompetisi ini, masyakarat kapitalistik terbiasa dengan persaingan. Selalu ingin meningkatkan diri demi penghasilan yang lebih. Namun tujuan seorang pengemban dakwah bukanlah lagi dunia. Tujuan pengemban dakwah adalah negeri akhirat. Bukankah itu sudah termasuk suatu tujuan yang harus dikejar dengan segala daya upaya?

Seharusnya kita malu, wahai diri yang masih bermalas-malasan menyambut kemenangan. Seharusnya kita segera bergerak meningkatkan kualitas dan kapasitas kita!

14 oktober 2015. Pengingat untuk diri yang masih malas.