Kamis, 27 Agustus 2020

Mispersepsi Diskusi JKDN

 Mispersepsi Diskusi JKDN


Oleh Wendy Lastwati


Notifikasi Telegram kemarin menyala. Channel Jejak Khilafah di Nusantara memberikan pengingat bahwa malam tanggal 27 Agustus 2020 akan ada diskusi. TvOne akan menyiarkan diskusi tentang topik yang sedang hangat diperbincangkan. Acara akan berlangsung pada pukul 19.00. Bersama narasumber sang sutradara Jejak Khilafah di Nusantara, Nicko Pandawa, ketua PBNU, Prof. Azyurmardi Azra, dan Ustazd Ismail Yusanto. 


Dari perbincangan tersebut terdapat mispersepsi tentang khilafah. Pertama Prof. Azyurmardi Azra menyebutkan bahwa Turki Ustmani dan Abbasiyah bukanlah kekhalifahan. Yang disebut kekhilafahan hanyalah Khulafaur Rasyidin. Kemudian Prof. Azyurmardi hanya menyebut Abu Bakar dan Umar sajalah yang benar-benar khalifah.


Apakah demikian adanya? Kalau dilihat fakta sejarahnya, ternyata Kekhilafahan itu dimulai dari Khalifah Abu Bakar sampai Kekhalifahan Turki Ustmani. Karna memang Khalifah berarti pengganti. Dari apa? Pengganti dari kepemimpinan Rasulullah untuk menerapkan hukum-hukum Islam. Semenjak Rasulullah wafat, para sahabat begitu sibuk mencari pengganti Rasulullah. Bahkan kita mengenal hukum syara tentang boleh dimundurkan penguburan mayat dari peristiwa ini. Hal itu menunjukkan bahwa begitu pentingnya memilih sosok pemimpin dalam Islam. Bahkan sampai penguburan jenazah Rasulullah pun harus dimundurkan.


Setelah Khalifah Ali bin Abi Thalib berakhir, memang kekhilafahan bukan lagi menjadi kekhalifahan ala minhajin nubuwah. Seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah. Namun penulisan sejarah adalah tergantung sudut pandang seseorang. Dari Muawiyah, mulailah disebut sebagai Bani Umayyah atau disebut juga dinasti. Memang dalam masa kekhalifahan Umayyah, para Khalifah yang diangkat adalah anak keturunannya. 


Begitupun dengan Kekhalifahan Abbasiyah. Proses pengangkatannya berbeda dengan proses pengangkatan seorang Raja. Seorang Khalifah diangkat melalui proses baiat. Inilah yang membedakan sistem kekhalifahan dan kerajaan. Hal ini berlangsung sampai masa kekhalifahan Turki Ustmani berakhir. Sistem Kekhalifahan dihapuskan oleh Pemerintahan Mustafa Kemal parlemen Turki. Setelahnya kita mengenal bahwa Turki berganti menjadi Republik. Pemimpinnya pun dikenal sebagai Presiden. Bukan seorang Khalifah. 


Mispersepsi yang lainnya adalah penyebutan Khalifah. Gelar yang digunakan untuk menyebut kepada pemimpin Islam bisa menggunakan gelar Khalifah, Imam, atau Amir al-Mu'minin. Kaum Muslimin diperbolehkan memberi gelar asalkan maknanya sesuai dengan fakta dan tidak bertentangan dengan hukum syara. Contohnya Sultan al-Mukminin. Maka ketika disebut dengan Sultan itu berarti memang kekuasaan pemerintahan Islam. Sistem pemerintahan ini memang khas karena diatur oleh hukum syara. Peraturannya berlandaskan Al-Qur'an dan Sunah Nabi. 


Berbeda dengan pendapat yang disebut oleh Ketua PBNU. Mengatakan bahwa Presiden adalah pengganti Rasulullah adalah suatu bentuk pengaburan fakta. Sistem presidensial sangat berbeda dengan sistem pemerintahan Islam. Sistem Republik Presidential merupakan sistem khas dari sistem demokrasi berbeda dengan sistem Khilafah Islam. 


Sistem presidensial sangatlah berbeda dengan sistem khilafah. Dalam sistem presidensial, kekuasaan presiden diangkat oleh demokrasi rakyat. Demokrasi inilah yang berbeda dengan sistem Islam. Dalam demokrasi, mengatur dan membuat hukum ada pada dewan perwakilan rakyat. Sedangkan dalam Islam, hak membuat hukum hanya diberikan kepada Syar'i(Pembuat Hukum/Allah). 


Mengklaim bahwa negara demokrasi adalah sama dengan Khilafah merupakan tindakan yang gegabah. Keduanya sangatlah berbeda baik dari asas dan pelaksanaannya.

Minggu, 03 Mei 2020

Zeromind

 


Oleh Wendy Lastwati


Saya suka angka nol. Dulu bahkan pernah bercita-cita punya anak laki-laki yang bernama Zero. Angka nol itu adalah angka yang keren. Berapapun angka yang dikalikan dengan angka nol maka hasilnya adalah nol. Waktu itu saya pernah mendengar atau membaca di mana ya lupa tentang tulisan angka nol. Isinya tentang konsep bagaimana mengenolkan pikiran. Pikiran seseorang yang tidak positif dan tidak juga negatif. Itu disebut titik nol / zeromind. 


Zeromind atau dalam Bahasa Indonesia adalah titik nol adalah suatu konsep kondisi saat kita menjadi sempurna dan dapat mendengar suara Tuhan, mendapat suatu pencerahan. Zeromind bisa diartikan sebagai mengikhlaskan, melepaskan, dengan berpasrah pada kekuatan yang lebih tinggi yaitu Tuhan Yang Maha Kuasa. Diantara semua konsep tentang pikiran yang pernah saya baca, konsep zeromind inilah yang paling bisa saya terima. Konsep ini saya pelajari lebih banyak dari suatu komunitas jiwa sehat yang ada di Indonesia. 


Seringkah kita membaca tentang konsep berpikir positif? Kalau saya iya. Sudah dipraktekkan juga. Namun kadang saya gagal dan malah lebih terluka. Kemudian saya mengenal konsep double negatif. Jadi menurut sang konseptor, kita perlu dua kali berpikir negatif. Rupanya teori ini memasukkan unsur logika matematik. Konsep itu mentah karena saya mungkin tidak cocok dan belum paham sepenuhnya. Sampai akhirnya bertemu dengan konsep zeromind ini dan merasa paling cocok. 


Konsep zeromind ini sebenarnya melengkapi kedua konsep berpikir tadi. Jika kita berada pada suatu keadaan yang membuat pikiran menjadi sangat negatif, misalnya sekarang ketika wabah covid-19 ini pertama kali muncul. Kita akan semakin terus tertarik mengetahuinya. Namun berita tentang corona ini lebih didominasi oleh berita negatif. Pikiran kita pun menerima dengan negatif. Kita akan menarik ke posisi negatif. Maka kita perlu memasukkan dalam pikiran kita tentang sesuatu/berita/informasi yang positif. Supaya seimbang tetap dalam posisi nol. 


Bagaimana jika tak terlalu cemas, bahkan menganggap biasa saja wabah ini. Itu juga sebaiknya tidak dilakukan. Melihat berita kebaikan saja dan menutup sama sekali akses atau mengabaikan fakta bahwa ada wabah dan bersikap masa bodoh terhadap wabah ini juga salah. Faktanya memang wabah ini sedang terjadi di belahan bumi manapun. Sehingga perlu juga untuk mengantisipasi keadaan terburuk. Skenario terburuk. Dalam istilahnya, prepare for the worst, hope for the best. 


Konsep zeromind ini bisa sering kita alami pada hal lain. Misalkan kita sedang menginginkan sesuatu. Ketika kita sangat ingin itu, biasanya harapan itu malah tak kunjung sampai. Sedangkan jika kita biasa saja dalam arti memasrahkan dan tidak terlalu memaksakan justru harapan itu malah terwujud. Begitulah zeromind bekerja. Pikiran kita dapat menarik sesuatu yang kita inginkan/takutkan. Ketika malah dipikirkan terus akan celaka, malah benar-benar celaka. Maka tariklah kebaikan saja. Supaya yang terjadi adalah kebaikan. 


Konsep zeromind ini ya mungkin kalau dalam Islam, adalah bagaimana manusia senantiasa mengingat Allah dan memasrahkan diri kepada Allah. Allah berfirman, "Hanya dengan mengingat Aku maka hati menjadi tenang.” (QS. 13 : 28).

Dan dalam surat Ath-Thalaq ayat tiga, “Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya”. [Ath-Thalaq/65 : 3]


Islam juga menerangkan bagaimana seorang muslim berdoa kepada Allah pun kita diharuskan berada pada kondisi harap dan cemas. Semacam syarat agar doa dikabulkan. Allah berfirman,


إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ


“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan *harap dan cemas.* Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu kepada Kami.” (QS. Al-Anbiya’: 90). 


Menurut Ats Tsauri, dari Tafsir Al Wajiz Wahbah Zuhaili yang dimaksud dengan harap dan cemas adalah, bahwa mereka *mengharapkan apa (kenikmatan) yang ada di sisi-Nya dan takut terhadap azab di sisi-Nya.*


Mengharap kenikmatan itu bisa kita masukkan ke dalam pikiran positif dan takut terhadap azab itu dalam pikiran negatif sehingga hasilnya posisi doa itu akan berada di posisi nol. Kemudian pada posisi nol itu dia merasakan ikhlas dan bersyukur kepada Allah.


Pada suatu ceramah yang saya dengar, seseorang yang ingin doanya sangat dikabulkan harus menempatkan doanya itu pada suatu titik pertengahan. Bayangkan jika di suatu ujung tali itu adalah takut sedang di ujung lain adalah harap. Pada pertengahannyalah kita harus menempatkan rasa kita pada doa tersebut. Misalkan kita ingin anak kita menjadi shalih-shalihah. Jangan terlalu berharap sekali atau menempatkannya pada ujung harap. Sehingga kita tidak takut bahwa ada peluang anak kita itu akan membantah kita sekali. Atau justru kita menempatkannya pada rasa sangat takut mungkin karena melihat anak itu lebih sering membantah. Sehingga menempatkan doa tersebut pada ujung rasa takut maka anak itu tidak mungkin jadi anak shalih. Tempatkanlah pada posisi di tengah. Kita tetap mengharapkan kebaikan. Anak menjadi shalih-shalihah. Namun harus ada rasa cemas anak menjadi tidak shalih melihat berbagai kondisi. Ketika kita menempatkan harap dan cemas pada posisinya yang seimbang maka posisi itu menjadi nol dan itulah posisi seorang hamba terhadap Penciptanya yang seharusnya. 


Jadi proses mengikhlaskan itu harus disertai harap dan cemas (positif dan negatif). Saat proses itu terjadi mengikhlaskan dan bersyukur serta yakin kepada Allah sambil tetap ikhtiar dan berusaha dengan menyegerakan melakukan kebaikan. Maka kebaikan ada padanya. Dan Allah akan mengabulkan doanya. Insya Allah.


Begitulah menurut saya mengapa konsep zeromind ini sangat pas dengan penjelasan Islam mengenai konsep berserah diri pada Allah. Posisi yang seimbang antara positif dan negatif. Posisi nol.