Sabtu, 19 Mei 2012

Efektifkah Pendidikan Karakter Kebangsaan?

-HTI Press- Pendidikan karakter kebangsaan dipandang sebagai solusi penting mengatasi potret buram pendidikan nasional. Seks pra nikah, aborsi, pornografi, HIV/AIDS, narkoba, tawuran, kenakalan, kekerasan, minuman keras, cuci otak hingga radikalisme.

Gagasan pendidikan karakter kebangsaan muncul setelah pendidikan agama dan kewarganegaraan dianggap belum cukup membentuk karakter generasi. Radikalisme, sikap memaksakan pendapat orang lain maupun semangat mengubah negara Indonesia kian menguat. Seperti keberadaan Negara Islam Indonesia (NII).
Pembahasan pendidikan karakter kebangsaan itulah yang disampaikan Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia (MHTI) kepada 500-an pendidik, guru, kepala sekolah dan wakil kepala sekolah SMP-SMA se-Surabaya dalam Seminar Pendidikan “Mengukur Efektifitas Pendidikan Karakter Kebangsaan dalam Menghasilkan Generasi Berkualitas” di Aula SMKN 6 Surabaya, Minggu (13/5/2012).

Sebagai pembicara Asyfiyah SPd Aktivis MHTI yang juga guru SMKN 9 Surabaya memaparkan Potret Buram Generasi vs Pendidikan Karakter Kebangsaan. Pentingnya pendidikan karakter kebangsaan diperkuat dengan pernyataan Menteri Pendidikan Nasional. Menurutnya, pendidikan karakter kebangsaan bisa mewujudkan keunggulan sumber daya manusia. Ini didasarkan pada penelitian menyebutkan 80 persen kesuksesan ditentukan dari karakter atau kepribadian seseorang.
 Faktanya, banyak yang menyangsikan pendidikan karakter. Alasannya, kata Asfiyah, pendidikan di Indonesia adalah pendidikan sekuler dengan budaya masyarakat yang materialistik. Terlebih dengan materi ajar yang tidak menghantar terbentuknya output pendidikan berkepribadian seimbang.
“Pelajaran agama yang diajarkan hanya tentang ibadah mahdoh saja. Sholat sampai memandikan jenazah. Itu sebenarnya tidak penting. Padahal yang terpenting adalah membentuk kepribadian Islam,” kata Asfiyah.
Pengajaran yang ada sekarang cenderung hanya sekedar transfer of knowledge dan bukan transfer of personality. Guru pun belum bisa memberikan teladan bagi siswa untuk mengembangkan karakter positif. Ditambah dengan belum serasinya pendidikan sekolah, keluarga dan masyarakat.

Pendidikan karakter sudah ada sejak era Soekarno hingga masa reformasi. Namun, tidak juga mengubah kondisi generasi muda. Konflik horizontal maupun vertikal muncul dima-mana. Primordialisme, praktek korupsi, kolusi dan nepotisme nyatanya masih merajalela. Pendidikan karakter kebangsaan hanya menghasilkan robot-robot pembela bangsa yang tidak mampu membedakan mana benar, salah, halal, haram, baik atau buruk. Hal ini tak lain adalah buah sistem kapitalisme. Pendidikan sekuler hanya memberikan pelajaran agama berdurasi 2 jam seminggu, sehingga dengan mudah mengikis ketaqwaan.

Bagaimana dengan pendidikan Islam? Aktivis MHTI yang juga Pengamat Pendidikan Rezkiana Rahmayanti menjelaskannya. Pendidikan dalam Islam sangat berbeda. Pendidikan adalah kebutuhan pokok dan asazi bagi setiap individu. “Pendidikan adaah pelayanan umum dan kemaslahatan hidup yang harus dipenuhi oleh negara,” ujarnya. Sistem pendidikan dalam Khilafah bertujuan untuk membangun kepribadian Islam, aqliyah dan nafsiyah serta mempersiapkan generasi muslim menjadi ulama yang ahli di setiap aspek kehidupan, baik ilmu Islam maupun terapan. Karena itu kurikulum dan kualifikasi guru tidak boleh bertentangan dengan aqidah Islam. Misalkan dalam pelajaran biologi, tidak akan mengajarkan bahwa manusia berasal dari kera, karena ini bertentangan dengan Islam.

Meski berasaskan Islam, namun sistem pendidikan dalam Khilafah tidak hanya akan dirasakan oleh umat muslim, tapi juga non muslim. Sistem pendidikan Islam akan menghasilkan generasi yang bisa mengambil keputusan dan bersikap atas masalah yang terkait dengan dirinya, mampu menjadi pemimpin sekaligus siap menjadi rakyat, zuhud tapi juga menikmati hidup, mampu menguasai dunia tapi juga sukses di akhirat, tidak rakus dunia karena berlandaskan ketaqwaan. Hasil pendidikan Islam pun bisa dilihat dari generasi-generasi pendahulu seperti Mu’adz bin Jabal, Salim Maula Abu Hudzaifah, Abu Ubaidah dan Aisyah ra.
Khilafah sebagai penyelenggara pendidikan juga mampu menjamin tersedianya sarana prasarana yang lengkap seperti perpusataakn, laboratorium dan sarana ilmu pengetahuan lain. Khilafah juga menyediakan guru yang berkualitas dengan profil berkepribadian Islam, bertaqwa, bertanggung jawab dan tidak mengabaikan ilmu. Kesejahteraan guru pun terjamin. Terbukti, pada masa Khalifah Umar bin Khattab misalnya, gaji guru sebesar 15 dinar atau setara dengan 63,75 gram emas. Jika saat ini harga 1 gram emas Rp 300 ribu, maka gaji guru saat itu Rp 19 juta lebih per bulan. Guru yang berprestasi menulis buku diberi penghargaan dengan menimbang buku tersebut dan disepadankan dengan berat emas.

Pembahasan sistem pendidikan ini ternyata disambut positif kalangan pendidik di Surabaya. Para peserta seminar berbondong-bondong memberikan pertanyaan maupun tanggapan betapa pendidikan Islam tidak diragukan lagi kehebatannya. Seminar pun ditutup dengan komitmen adanya sebuah perubahan agar syariah Islam dalam naungan Khilafah bisa segera diterapkan.

Tidak ada komentar: